Gembala-Gembala di Padang
Penulis: Yosi Rorimpandei
“Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.”
Cerita mengenai para gembala di padang menjadi salah satu peristiwa yang selalu mewarnai perayaan Natal di berbagai gereja. Lukas memang menyajikan cerita ini dengan sangat baik. Namun, harus kita ingat bahwa Lukas tidak pernah menuliskan suatu cerita yang lepas dari tujuan penulisan kitabnya.
Cerita ini, di samping memberi kita data tambahan untuk kelengkapan historis, khususnya mengenai kapan Yesus lahir, juga menambah narasi doksologi dengan kelahiran Sang Juruselamat. Lukas, tanpa kehilangan karakteristiknya, berusaha menggambarkan bagaimana Allah menyapa realitas sosial yang sebelumnya tidak disapa lagi oleh agama, khususnya orang-orang yang merasa beragama.
Dalam narasi ini, Lukas menampilkan bagaimana para gembala yang selama ini menggembalakan hewan-hewan kurban, kini menerima kabar gembira atas lahirnya Gembala Agung, sekaligus Kurban Suci itu sendiri. Di Daerah Itu...
“En te khora te aute” bisa juga diartikan “di daerah atau wilayah yang sama”, yaitu di daerah atau wilayah Yudea, di sekitar Betlehem (Luk. 2:4). Betlehem disebut “Kota Daud”, sebab Daud berasal dari sana (1Sam. 17:12). Dalam Bahasa Ibrani, kata “Betlehem” (Beth Lekhem) berarti “Rumah Roti” dan merupakan salah satu kota tua di Palestina.
Meskipun Daud berasal dari Betlehem dan sangat mengasihi kota itu (2Sam. 23:15), namun Daud tidak melakukan apa-apa terhadap kota itu. Betlehem sendiri termasuk kota yang tidak begitu diperhitungkan di kalangan umat Yahudi pada zaman Perjanjian Lama. Meski demikian, Nabi Mikha menubuatkan kelahiran Mesias dari kota kecil itu (Mi. 5:2).
Betlehem adalah kota yang subur. Di sana terdapat padang rumput, sehingga memungkinkan para gembala untuk menggembalakan ternak mereka. Di sana juga terdapat padang Yaar (Mzm. 132:6) yang kaya akan pepohonan, serta menara Edar (Migdal-Edar) sebagai bukti bahwa di sana merupakan tempat yang baik untuk menggembalakan ternak (Kej. 35:21). Di kota inilah Daud menggembalakan domba ayahnya (1Sam. 17:15).
Gembala-gembala di Padang...
Di dalam Mishna disebutkan bahwa domba-domba dari Betlehem diperuntukkan sebagai kurban dalam ibadah-ibadah di Bait Allah. Karena itu, para gembala (poimenes) yang menjaga kawanan domba di sana bukanlah gembala biasa. Mereka bukanlah gembala-gembala yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua dalam struktur sosial Yahudi pada waktu itu. Mereka adalah gembala-gembala yang dihormati.
Memang dalam tradisi Yahudi kemudian, mereka termasuk dalam kelompok yang disingkirkan dalam tradisi keagamaan Yahudi oleh para Rabbi. Mereka disingkirkan lantaran sikap mereka yang cenderung mengasingkan diri dari peraturan-peraturan agama.
Beberapa seniman sering menggambarkan gembala-gembala itu di tengah padang di malam hari hanya dilindungi dengan pakaian mereka. Namun, dalam masyarakat Yudea pada waktu itu, biasanya gembala-gembala tinggal di kemah-kemah atau pondok-pondok selama mereka menjaga kawanan domba. Sesekali mereka keluar untuk memastikan bahwa kawanan domba mereka dalam keadaan baik.
Dari Mishna yang sama dikatakan bahwa kawanan domba itu mulai berada di sana tiga puluh hari sebelum Paskah Yahudi, yaitu pada bulan Adar menurut kalender Ibrani (sekitar bulan Maret dalam kelender Masehi). Pada waktu itu, Palestina mulai memasuki musim penghujan.
Pada bulan Kheshwan (sekitar bulan November), kawanan domba itu dibawa pulang dari padang. Artinya, para gembala dan kawanan domba itu berada di padang antara bulan Adar sampai Kheshwan atau sekitar bulan Maret sampai November. Clement dari Aleksandria mengatakan bahwa kelahiran Yesus (Natal) terjadi pada tanggal 21 April, sementara pendapat lain mengatakan 22 April. Ada juga yang mengatakan bahwa Natal seharusnya dirayakan pada 20 Mei.
Gereja Katolik, Protestan, dan beberapa Gereja Ortodoks merayakan Natal pada 25 Desember, sedangkan Gereja Ortodoks Koptik, Yerusalem, Rusia, Serbia, dan Georgia, merayakan Natal pada 7 Januari. Gereja Armenia justru lebih menekankan pada peristiwa Epifania (kedatangan orang majus) ketimbang Natal.
Banyak upaya untuk mempertahankan agar Natal tetap diperingati pada tanggal 25 Desember, termasuk oleh Hippolytus yang mendasarkan perhitungannya pada masa pemerintahan kaisar Augustus.
Namun, tanggal 25 Desember, dalam kalender Ibrani bertepatan dengan bulan Kislew dan Teveth dalam kelender Ibrani. Pada bulan ini, Palestina berada pada musim dingin. Tidak ada bukti historis yang mendukung bahwa para gembala tetap berada di padang pada musim dingin, apalagi di malam hari.
Adanya upaya di kalangan gereja tertentu untuk mencari tanggal yang lebih tepat untuk merayakan Natal dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Namun, upaya-upaya itu pun hanya akan memunculkan kebingungan dan polemik yang tidak esensial. Pada kenyataannya, perhitungan kalender Masehi mengalami masalah sehingga mengharuskan ditambahkannya satu hari untuk bulan Februari setiap empat tahun (kabisat).
Setelah diperhitungkan kembali, para ahli akhirnya menyimpulkan bahwa Yesus lahir sebelum tahun Masehi. Dengan demikian, sia-sialah mencocok-cocokkan kalender Masehi dengan tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya. Masalah yang sama terjadi dalam penanggalan Ibrani.
Kelender Ibrani berdasar pada tiga fenomena astronomi: rotasi bumi (sehari), revolusi bulan atas bumi (sebulan), dan revolusi bumi atas matahari (setahun). Ketiganya tidak saling berhubungan. Rata-rata bulan berputar mengitari bumi dalam 29½ hari, sedangkan bumi mengitari matahari sekitar 365¼ hari atau 12,4 bulan lunar. Karenanya, untuk mendapatkan jumlah yang tepat, maka jumlah hari dalam sebulan kalender Ibrani adalah 29 atau 30 hari sesuai perputaran bulan, sedangkan jumlah bulan dalam setahun kalender Ibrani adalah 12 atau 13 bulan sesuai perputaran matahari, dimana tahun dengan jumlah bulan 13, disebut Shana Me’ubereth (Tahun Hamil) atau kabisat dalam istilah Indonesia.
Masalah utama dalam kalender Ibrani adalah perhitungan 12,4 bulan dalam satu tahun matahari. Artinya, jika setahun dihitung 12 bulan, kalender mengalami kekurangan sekitar 11 hari setiap tahunnya, sedangkan jika dihitung 13 bulan, maka kalender akan mengalami kelebihan 19 hari dalam setahun. Akibatnya, bulan yang seharusnya jatuh pada musim semi, karena kesalahan perhitungan dapat jatuh pada musim dingin.
Menghadapi problem ini, pada zaman dahulu, Sanhedrin menetapkan bahwa Paskah Yahudi jatuh pada musim semi. Artinya, jika dalam setahun, Paskah tidak jatuh pada musim semi, maka Sanhedrin akan menambahkan satu bulan dalam setahun. Model perhitungan ini bertahan sampai abad keempat masehi. Dengan demikian, kita tetap akan menemukan kesulitan melacak kelahiran Yesus berdasarkan kalender Ibrani.
Kalender Ibrani baru menemukan bentuknya yang tepat pada abad keempat, ketika Hillel II menetapkan kalender Ibrani berdasakan perhitungan matematika dan astronomi. Perhitungan Hillel II adalah dengan menambahkan bulan Adar menjadi dua, yaitu I Adar dan II Adar. Penambahan satu bulan dilakukan pada tahun ke-3, 6, 8, 11, 14, 17, dan 19 dalam satu putaran (19 tahun).
Pada Waktu Malam...
Yesus lahir pada waktu malam. Puncak karya penebusan pun terjadi pada waktu malam. Berdasarkan tradisi Yahudi, Mesias datang di tengah malam. Dengan demikian, narasi ini menggenapi setiap nubuatan dalam Perjanjian Lama, bahwa Mesias akan lahir di Betlehem Efrata, Kota Daud, di malam hari [oyr79].