Mengembalikan Politik ke dalam Natal
Preston Sprinkle
Anda mungkin pernah mendengar ungkapan: "Injil tidak bersifat partisan, tetapi bersifat politis." Biasanya, ketika kita mengatakan "jauhkan politik dari gereja", yang kita maksudkan adalah, jauhkan kesetiaan partisan sekuler dari mimbar. (Meskipun lucu, betapa seringnya kesetiaan-kesetiaan itu secara perlahan dan halus merayap masuk kembali). Apa yang tidak kita maksudkan, atau tidak seharusnya kita maksudkan, adalah bahwa mengakui Yesus sebagai Tuhan tidak berimplikasi pada bagaimana kita memandang imigrasi, peperangan, hukuman mati, pernikahan, seksualitas, kekayaan dan kemiskinan, dan seterusnya. Kabar baik bahwa Yesus adalah Tuhan penuh dengan implikasi politik -- atau, bisa juga dikatakan pengembangannya).
Orang Kristen tidak menciptakan istilah-istilah seperti "Injil", "damai", "Juru Selamat", "pengharapan", atau bahkan "Anak Allah". Istilah-istilah tersebut sudah dikenal di dunia Yunani-Romawi, jauh sebelum Kekristenan ada dan istilah-istilah tersebut memiliki makna politis. Dalam sebuah prasasti kalender terkenal yang ditemukan di berbagai tempat di seluruh Asia Kecil, kelahiran Augustus dipuji dengan bahasa yang terdengar agak religius:
Karena Providensia, yang telah mengatur segala sesuatu dan sangat tertarik pada kehidupan kita, telah mengaturnya dalam tatanan yang paling sempurna dengan memberi kita Augustus, yang dia dipenuhi dengan kebajikan sehingga dia dapat bermanfaat bagi umat manusia, mengirimnya sebagai juru selamat, baik untuk kita maupun untuk keturunan kita sehingga dia dapat mengakhiri perang dan mengatur segala sesuatu, dan karena dia, Kaisar, dengan penampilannya (bahkan melebihi antisipasi kita), melampaui semua dermawan sebelumnya, dan bahkan tidak meninggalkan kepada anak cucu harapan untuk melampaui apa yang telah dilakukannya, dan karena hari kelahiran dewa Augustus adalah awal dari kabar baik (euanggelion) bagi dunia yang datang karena dia
Orang-orang Kristen mula-mula menggunakan bahasa yang sama untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Yesus seperti yang digunakan oleh dunia Yunani-Romawi untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Kaisar. Tidaklah mengherankan ketika Paulus memberitakan Injil di Tesalonika, beberapa orang di situ menghasut massa untuk melakukan penganiayaan terhadap Paulus dan teman-temannya, dengan mengatakan: "Orang-orang ini, yang telah mengacaukan dunia ... semuanya bertindak yang melawan hukum Kaisar dengan mengatakan bahwa ada raja lain, yaitu Yesus" (Kisah Para Rasul 17:6-7, AYT).
Jemaat Tesalonika menafsirkan Injil Paulus melalui kacamata politik. Jika Yesus adalah Raja, Kaisar tidak boleh menjadi raja. Dan, hal itu terjadi bukan karena mereka salah memahami Paulus. Mereka sangat memahami bahwa ketika seorang pemberita mengumumkan raja baru (basileus) sementara raja yang sekarang masih hidup, sebuah revolusi dapat terjadi. Menyampaikan khotbah rohani tentang berdoa kepada Allah atau membaca Alkitab tidak akan membuat kota menjadi rusuh. Namun, memberitakan Injil tentang kerajaan Yesus akan mengancam legitimasi dan kekuasaan semua kerajaan lain di bumi. Memberitahukan kepada orang lain bahwa Yesus adalah Raja adalah hal yang berbahaya secara politis. Setidaknya pada zaman itu.
Para penulis Alkitab menafsirkan kelahiran Kristus secara khusus sebagai peristiwa yang subversif secara politis. Lukas berusaha keras untuk mengawali narasi kelahirannya dengan mengingatkan para penguasa Romawi yang mengira bahwa mereka memerintah dunia (Lukas 2:1-2). Mengapa menyebutkan sensus? Sensus dilakukan untuk tujuan perpajakan, dan perpajakan adalah cara utama kekaisaran untuk mengingatkan rakyatnya tentang siapa yang berkuasa. Dengan menyebut bayi Yesus sebagai "Mesias (Raja), Tuhan" (Lukas 2:11), hal ini menguatkan pesan yang sama yang diberitakan oleh Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Jika Yesus adalah Tuhan, maka Kaisar bukanlah Tuhan.
Kisah Natal favorit saya sebenarnya adalah Wahyu 12-13. Di sini, Maria (atau Israel) melahirkan Yesus dan segera "seekor naga besar berwarna merah yang memiliki tujuh kepala dan sepuluh tanduk" berusaha menelan anak itu (Why. 12:3-4). Yohanes mungkin sedang memikirkan raja boneka Roma, Herodes Agung, dan upayanya untuk membunuh Yesus ketika ia mendengar bahwa seorang raja lain telah lahir di Betlehem. Sekali lagi, kelahiran Kristus dibingkai sebagai sebuah peristiwa politik, di mana seorang penguasa duniawi terancam oleh kelahiran seseorang yang dielu-elukan sebagai raja. (Dalam skala yang lebih kecil, hal ini mengingatkan saya pada saat para presiden berebut mencari-cari kesalahan lawannya sehingga mereka dapat menghancurkannya pada saat pemilihan ulang. Herodes juga mengerahkan segala cara untuk memastikan dirinya tetap berkuasa). Yesus mengancam akan mengambil alih kekuasaan dari presiden Israel yang sedang menjabat. Dan masih banyak lagi: Yesus lahir untuk "memerintah bangsa-bangsa dengan tongkat besi" (12:5, AYT)
Akan tetapi, Yohanes tidak mengatakan bahwa naga merah itu adalah Herodes. Setidaknya tidak secara eksplisit. Beberapa ayat kemudian, ia dengan jelas mengatakan bahwa naga itu adalah Iblis (12:9). Yesus tidak hanya mengancam kekuasaan politik Herodes yang bersifat duniawi, Ia juga sedang mengancam takhta Iblis. Wahyu 13 selanjutnya mengungkapkan bahwa para pemimpin politik duniawi dan kekuatan Iblis bermain untuk tim yang sama. Binatang yang keluar dari laut itu bertanduk sepuluh dan berkepala tujuh (13:1), sama seperti Iblis (12:3-4), dan dengan jelas diidentifikasi sebagai kekaisaran Romawi dalam Wahyu 17-18 (khususnya 17:9). Namun, bukan hanya kekaisaran Romawi, melainkan semua kekaisaran dari zaman Perjanjian Lama sampai ke zaman Perjanjian Baru (lih. Why. 13:2 dengan deskripsi kekaisaran-kekaisaran dalam Dan. 7:4-6). Naga, Iblis, yang "memberikan kepada binatang itu (Roma) kekuatannya, takhtanya dan kekuasaannya yang besar" (Why. 12:2) dan Iblis yang sama inilah yang "memberikan kekuatan kepada binatang buas itu" (13:4).
Kelahiran Kristus adalah peristiwa dahsyat yang mengobarkan perang melawan Iblis, yang memberi kuasa kepada Roma untuk memerintah dunia dan, sebagai implikasinya, semua Babel di bumi. Raja Yesus yang lahir di palungan adalah peristiwa spiritual yang mendalam yang membawa keselamatan bagi dunia. Peristiwa ini juga merupakan peristiwa subversif secara politis yang mengancam untuk mengambil alih kekuasaan politik Romawi dengan meresmikan kerajaan Allah (basileia) di bumi.
Saya memilih untuk menjauhkan politik partisan dan duniawi dari mimbar. Setelah membaca Wahyu 12-13, sangatlah konyol -- jika bukan satanik -- untuk melakukan hal yang sebaliknya. Akan tetapi saya setuju untuk membiarkan penjelasan politis dari Injil berbicara dengan lantang dan jelas pada musim Natal ini: tidak ada raja selain Kristus.
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Theology in the Raw |
Alamat situs | : | https://theologyintheraw.com/putting-politics-back-in-christmas/ |
Judul asli artikel | : | Putting Politics Back in Christmas |
Penulis artikel | : | Preston Sprinkle |
Tanggal akses | : | 21 November 2023 |