Natal di Tengah-Tengah Keluarga: Empat Saran
Anda duduk untuk makan malam Natal bersama keluarga besar Anda. Paman Philip, Grand Poo-bah (istilah sindiran untuk orang penting dalam skala lokal atau memiliki otoritas terbatas -- Red.) dari Knights of Columbus, memimpin doa kepada Perawan Maria. Anda bertanya-tanya apakah kejadian tahun lalu dari sebuah percakapan di mana Anda menggambarkan "penghormatan yang tidak alkitabiah, terkadang kultus terhadap orang-orang kudus" mungkin dengan cara tertentu memicu penekanan baru ini.
Atau mungkin keluarga Anda adalah orang Yahudi. Percakapan Anda berkaitan dengan nubuatan Yesaya, dan Anda menyatakan bahwa itu digenapi dalam Mesias Yesus. Efek interpretasi Anda di tengah-tengah kerabat yang lain seumpama granat tangan yang meledak di tangki septik -- keras dan agak berantakan. Dalam kedua kasus, Anda sekarang sudah lebih siap -- untuk liburan lain bersama keluarga di mana diskusi tentang agama akan menimbulkan pembakaran sosial yang cukup mudah meledak untuk menghancurkan atap rumah.
Tahun ini, saat kita akan mengadakan pertemuan keluarga, kita memiliki kesempatan untuk melakukannya dengan hikmat dan kasih karunia Kristus, setiap bagian dikhususkan untuk Injil, dan juga didedikasikan untuk orang-orang yang kita kasihi. Pada akhirnya, kita mengerti bahwa kata salib masih merupakan kebodohan bagi mereka yang akan binasa. Akan tetapi, kita tetap dituntut untuk bersikap sopan dan ramah; atau, dalam kata-kata Paulus, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibumbui dengan garam (Kol. 4:6, AYT). Berikut adalah empat saran praktis untuk membantu Anda mencapai tujuan ini.
1. Memahami Kasih Karunia dan Kebenaran
Yesus mewujudkan kasih karunia dan kebenaran dengan keseimbangan yang sempurna (Yohanes 1:14), dan kita harus mengikuti teladan-Nya. Kepribadian kita sering condong ke satu kutub, anugerah atau kebenaran. Beberapa dari kita secara alami menyerupai domba; yang lain lebih seperti binatang pemangsa. Itulah kehidupan di dunia yang penuh dengan orang-orang yang diciptakan secara unik. Karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita tidak sepakat tentang bagaimana menangani isu-isu tertentu. Akan tetapi, ketidaksepakatan seperti itu seharusnya tidak merusak usaha untuk mencoba secara peka menjalani perbedaan kita. Meskipun kita harus sepakat untuk tidak sepakat di beberapa tempat, dialog yang sopan adalah pendekatan yang jauh lebih Kristen daripada menembakkan rudal polemik.
Salah satu alasan mengapa orang Kristen gagal untuk terlibat dalam proses menyeimbangkan kasih karunia dan kebenaran adalah karena terlalu percaya diri ditambah dengan kurangnya rasa hormat terhadap orang lain. Dalam bukunya Humble Apologetics, penulis John Stackhouse menjelaskan konsep ini:
"Untuk membuatnya lebih jelas, kita harus terdengar seperti kita benar-benar menghormati pemahaman dan ketertarikan spiritual dan integritas moral sesama kita. Kita harus bertindak seolah-olah kita benar-benar melihat gambar Allah di dalam mereka .... Ini adalah suara yang berbicara secara autentik dari keyakinan Kristen tentang keterbatasan kita sendiri yang sangat nyata dan martabat sesama kita yang sangat nyata, bukan kemanfaatan yang sinis. Kita secara retoris rendah hati karena kita bukan nabi yang diilhami oleh Allah tanpa salah, apalagi Dia yang dapat berbicara "dengan otoritas" dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain. Kita hanyalah utusan-utusan dari Dia: para utusan yang sungguh-sungguh bermaksud baik, tetapi yang melupakan sedikit pesan ini atau tidak pernah benar-benar memahami bagian itu; para utusan yang tidak pernah sepenuhnya hidup sesuai dengan kabar baik mereka sendiri; para utusan yang mengenali ambiguitas di dunia yang membuat pesannya lebih sulit untuk dipercaya; dan karena itu para utusan yang dapat bersimpati dengan sesama yang belum siap untuk memercayai semua yang kita katakan kepada mereka."
Menjadi rendah hati tidak berarti bahwa kita lebih mengompromikan keyakinan kita tentang apa yang benar daripada menjadi lemah lembut yang menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki kekuatan. Yesus Mahakuasa, tetapi Ia merendahkan diri-Nya sampai mati, bahkan mati di kayu salib (Flp. 2:1-11). Hanya ketika kita memiliki keyakinan yang diberitahukan, setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan, belajar, dan berpikir, kita memiliki keberanian yang diperlukan untuk berhubungan dengan orang lain dengan cara yang peka dan rendah hati. Sebaliknya, ketika kita menyerang atau mengkritik orang yang tidak setuju dengan kita, kita menunjukkan rasa tidak aman kita. Sekali lagi, Yesus adalah teladan kita. Meskipun Dia Allah, Yesus tidak mengeksploitasi keilahian-Nya, tetapi mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:6-7). Inilah sesungguhnya cara Kristen.
2. Perhatikan Posisi di Keluarga Anda
Komunikasi dengan keluarga sangat sulit. Itu adalah tantangan bagi Yesus. Tuhan berkata dalam Matius 13:57, "Seorang nabi bukannya tidak dihormati, kecuali di tempat asalnya dan di rumahnya sendiri." Dalam konteksnya, Yesus mengacu pada orang-orang yang ada saat Dia tumbuh besar, termasuk keluarga, yang mengalami kesulitan menerima pesan-Nya. Ini tidak mengejutkan; keakraban melahirkan penghinaan.
Ini membantu untuk memahami di mana posisi Anda dalam keluarga Anda. Bibi Louise Anda yang mengganti popok Anda ketika Anda masih bayi mungkin tidak langsung tertarik untuk belajar dari Anda tentang Allah. Meskipun Anda telah mendapatkan M.Div Anda dan Ph.D. dalam teologi dan telah menjadi pendeta selama lebih dari 20 tahun, pada tingkat tertentu dia masih melihat Anda sebagai anak kecil yang dahulu mengiler. Kita harus mengenali hambatan relasional ini dan berdoa memohon hikmat Allah untuk menanganinya dengan tepat.
3. Mengatur Intensitas Emosional
Ketika kita berdiskusi tentang iman dengan anggota keluarga, percakapan kita cenderung begitu sarat dengan emosi yang pada dasarnya sudah ditakdirkan sejak awal, terutama dalam keluarga di mana telah ada sejarah ketidaksepakatan tentang masalah tersebut. Hal ini sebagian karena kepercayaan injili, yang sering berpusat pada dalil doktrinal, berbeda dari sudut pandang agama lain yang cenderung hidup dalam budaya yang utuh termasuk sejarah pribadi, keluarga, dan etnis seseorang. Karena komitmen ini masuk jauh ke dalam identitas seseorang, pertanyaan tentang kepercayaan pribadi secara bersamaan membahas budaya yang lebih besar di mana pandangan itu terjalin. Potensi ledakan secara emosional dalam skenario ini tidaklah berlebihan.
4. Pertahankan Hal yang Utama sebagai Hal yang Utama
Ketika berbicara dengan keluarga tentang Injil, kita menghadapi sejumlah kemungkinan berputar-putar. Kita mungkin masuk ke dalam percakapan untuk menjelaskan bagaimana Yesus memberikan kehidupan yang berkelimpahan dan tiba-tiba menemukan diri kita terperangkap dalam perdebatan tentang Perang Salib, ineransi Keluaran, atau doktrin pemujaan Ekaristi. Kadang-kadang, tepat untuk membahas topik ini, tetapi terlalu sering kita melakukannya dengan mengorbankan Injil. Pendekatan ini bukan hanya sebuah kesalahan, tetapi juga sebuah parodi. Apa untungnya bagi seseorang jika dia menjelaskan semua teka-teki teologis dunia tanpa memusatkan perhatian pada kematian dan kebangkitan Yesus? Ini, menurut saya, adalah "hal yang utama" -- memberikan kesaksian akan kemegahan dan keagungan Juru Selamat kita, Dia yang telah mati, bangkit, dan sekarang hidup.
Kiranya Allah memberkati Anda dan keluarga Anda dengan limpah pada musim ini saat Anda merenungkan, merayakan, dan bersaksi tentang keindahan Yesus Kristus! (t/Jing-Jing)
Audio: Natal di Tengah-Tengah Keluarga: Empat Saran
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
Alamat situs | : | https://thegospelcoalition.org/article/christmas-among-family-four-suggestions |
Judul asli artikel | : | Christmas Among Family: Four Suggestions |
Penulis artikel | : | Chris Castaldo |