Lawatan Ilahi yang Memperbarui
Oleh: Sutrisna
"Dan Zakharia, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya" (Lukas 1:67-68)
Natal adalah peristiwa di mana Allah melawat umat-Nya. Lawatan Ilahi tersebut membawa pembaharuan dalam diri orang-orang yang terlibat di dalamnya. Salah satunya, Zakharia.
Siapakah Zakharia? Ia adalah seorang imam, keturunan Harun, suku Lewi. Ia berasal dari rombongan Abia. Menurut 1 Tawarikh 24:1-6, para imam dibagi ke dalam 24 rombongan untuk melayani di Bait Allah. Rombongan Abia, di mana Zakharia termasuk di dalamnya, adalah salah satu dari kedua-puluh-empat rombongan tersebut (ay. 10). Setiap rombongan bertugas dua kali dalam setahun, tiap kali selama satu minggu.
Zakharia memiliki istri yang berasal dari keturunan imam juga, yaitu Elisabet. Keduanya digambarkan sebagai orang-orang yang "benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat" (Luk 1:6). Ungkapan tersebut tidak dimaksud untuk menyatakan kesempurnaan mereka, tetapi kesetiaan mereka dalam melayani Tuhan.
Sekalipun demikian, hingga usia tua mereka belum juga dikaruniai anak. Pada masa itu, memiliki atau tidak memiliki anak dipahami sebagai keadaan yang diberkati atau tidak diberkati oleh Tuhan. Namun, melawan pandangan umum tersebut, penulis Injil Lukas menekankan bahwa penyebab Zakharia dan Elisabet tidak memiliki anak hingga usia tua mereka bukan karena mereka tidak hidup benar di hadapan Tuhan.
Akhirnya, ketika Zakharia sedang bertugas di Bait Allah, terjadilah sesuatu yang tidak disangka-sangka. Karena anugerah Tuhan, Zakharia terpilih untuk masuk ke Bait Allah dan membakar ukupan di sana. Tugas tersebut sangat istimewa, karena tidak semua imam berkesempatan untuk melakukannya. Selain itu, menurut peraturan keagamaan saat itu, seorang imam hanya berkesempatan membakar ukupan sekali saja di sepanjang hidupnya.
Pada kesempatan yang sangat istimewa itulah Tuhan melawat pasangan tersebut melalui kehadiran malaikat Gabriel. Allah menyatakan, bahwa Ia berkenan menjawab doa-doa mereka dengan cara yang istimewa. Tampaknya, kala itu Zakharia sudah tidak terlalu berharap untuk memiliki anak, mengingat usia istrinya sudah cukup lanjut. Bisa jadi umur mereka sudah lebih dari enam puluh tahun. Karena itu, berita yang disampaikan Gabriel sulit dipercayainya!
Tuhan berjanji akan memberikan kepada mereka seorang anak yang istimewa. Anak itu akan mendatangkan sukacita bukan hanya bagi orang tuanya, tetapi juga bagi seluruh Israel. Anak itu akan menjadi besar di hadapan Tuhan, dikuduskan untuk mengerjakan tugas khusus dari Tuhan. Ia akan penuh dengan Roh Kudus sejak dalam rahim ibunya. Dan lebih jauh lagi, ia akan dipakai Tuhan dengan kuat kuasa seperti yang dimiliki Elia, untuk membawa bangsanya berbalik kepada Allah. Luar biasa! Bukan hanya seorang anak yang akan diterima pasangan Zakharia dan Elisabet, melainkan seorang anak yang istimewa!
Bagaimanapun, kabar gembira itu sulit untuk dicerna oleh Zakharia. "Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: 'Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya'" (Luk 1: 18). Pertanyaan yang tampak wajar tersebut ternyata ditanggapi Gabriel dengan keras: "Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi" (ay. 20a). Mengapa?
Dalam kisah berikutnya, Gabriel sang pembawa pesan Allah juga menyapa Maria dengan berita yang tak kalah mengejutkan. Dia akan mengandung dan melahirkan Sang Juruselamat. Maria pun terkejut dan mengajukan pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan Zakharia: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" (Luk 1:34). Namun, berbeda dengan jawabannya yang keras kepada Zakharia, jawaban Gabriel kepada Maria sangat positif. Bahkan, diakhiri dengan kalimat peneguhan: "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil" (ay. 37).
Mengapa begitu? Rupanya, Tuhan yang mengenal hati manusia tahu bahwa kedua pertanyaan yang serupa tersebut - pertanyaan Zakharia dan pertanyaan Maria - dilandasi dua sikap hati yang sangat berbeda. Pertanyaan Zakharia dilandasi sikap hati yang tidak percaya. "Engkau tidak percaya," kata Gabriel kepadanya (Luk 1:20). Sedangkan Maria, dalam ketidakmengertiannya, merendahkan hati dan menyerahkan dirinya ke tangan Tuhan: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (ay. 38).
Di sini kita melihat suatu ironi. Zakharia adalah seorang rohaniawan senior, namun ia tidak siap untuk meyakini janji Tuhan yang melampaui akalnya. Sedangkan Maria masih muda belia, awam, namun ia mau memercayakan dirinya kepada janji Tuhan yang melampaui akalnya.
Apakah Zakharia tidak sadar bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah seorang malaikat? Seharusnya sadar. Apalagi perjumpaan itu terjadi di Bait Allah. Tidak mungkin seorang manusia biasa nyelonong masuk dan berpura-pura jadi malaikat. Lantas, mengapa Zakharia tetap sulit untuk mempercayai apa yang dikatakan sang malaikat? Dalam hal ini, sikap Zakharia mencerminkan sikap sebagian besar dari kita, umat Tuhan yang hidup di masa sekarang. Kita tahu bahwa Allah adalah Allah yang maha baik, mahakuasa, pencipta langit dan bumi. Namun, pada kenyataannya seringkali kita meragukannya.
Setelah lawatan ilahi itu, Zakharia menjadi orang yang berbeda. Ia tidak lagi memahami Tuhan menurut konsepnya sendiri, tapi sebagai Pribadi yang benar-benar berdaulat. Tuhan sanggup memenuhkan kehendak-Nya, sekalipun hal itu melampaui akal manusia. Tidak heran, menyambut kelahiran anaknya, Zakharia menciptakan kidung yang sangat indah bagi Allah (Luk 1:67-79). Inilah salah satu berkat Natal: Lawatan ilahi yang memperbaharui. Kelahiran Yohanes Pembaptis telah memperbarui hidup Zakharia.
Kiranya Natal kali ini menjadi saat perjumpaan Saudara dengan Allah. Perjumpaan yang akan memperbarui hidup Saudara!
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Harta Karun Natal |
Penulis | : | Erick Sudharma dkk |
Penerbit | : | Penerbit Mitra Pustaka & Literatur Perkantas Jawa Barat, Bandung 2005 |
Halaman | : | 51 -- 56 |