Surat Yusuf ke Rumah -- Sebuah Kisah Natal
Ibu yang terkasih,
Kami masih berada di Betlehem. Aku, Maria, dan Bayi Yesus.
Banyak hal yang tidak dapat kubicarakan dengan Ibu di musim panas yang lalu. Ibu tidak akan mempercayaiku pada saat itu, tetapi mungkin sekarang aku dapat menceritakannya kepada Ibu. Kuharap Ibu mengerti.
Ibu tentu tahu bahwa aku selalu mengasihi Maria. Dahulu, Ibu dan Ayah sering menggodaku dengan Maria ketika ia masih kecil. Ia dan kakak laki-lakinya sering bermain di jalan depan rumah kita. Keluarga kita sering makan malam bersama dengan keluarganya. Akan tetapi, hari terberat dalam hidupku datang hampir setahun yang lalu, ketika aku berusia 20 tahun dan ia 15 tahun. Ibu tentu mengingat hari itu, bukan?
Masalah dimulai ketika kami bertunangan dan menandatangani perjanjian pernikahan pada pertunangan kami. Pada musim semi itu, Maria secara tiba-tiba meninggalkan rumah untuk mengunjugi sepupunya yang sudah tua, Elisabet, di wilayah Yudea. Ia berada di sana selama tiga bulan penuh. Ketika ia kembali, orang-orang mulai bertanya-tanya apakah ia sedang mengandung.
Itu adalah hari yang kelabu ketika aku akhirnya menanyakan langsung kepadanya tentang kebenaran isu tersebut. "Maria," Aku bertanya padanya, "Apakah kamu mengandung?"
Mata coklatnya yang jernih melihat mataku. Ia mengangguk.
Aku tidak tahu harus berkata apa. "Siapa ayahnya?" tanyaku dengan tergagap.
Ibu, aku dan Maria tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak pantas, bahkan ketika kami sudah bertunangan.
Maria menunduk. "Yusuf, " katanya. "Aku tidak dapat menjelaskannya kepadamu. Kamu tidak akan memahaminya. Tetapi, aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah menyukai orang lain, selain dirimu." Dia bangkit, dengan lembut memegang tangan saya dan mencium kedua tangan saya, seolah-olah itu adalah terakhir kalinya ia melakukannya. Kemudian, ia berbalik menuju rumah. Ia pasti sangat menderita dalam hatinya. Aku tahu itu.
Sepanjang hari itu, aku bermasalah dengan pekerjaanku. Aneh juga bahwa aku tidak melukai diriku sendiri sepanjang hari itu di bengkel kerja. Awalnya, aku merasa marah dan menumpahkan rasa frustasiku pada daun pintu yang sedang kubuat. Pikiranku berputar sedemikian cepat sehingga aku tidak dapat memusatkan perhatian pada pekerjaanku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri perjanjian pernikahan dengan perceraian secara diam-diam. Aku terlalu mencintainya untuk mempermalukannya di depan umum.
Aku tidak dapat berbicara denganmu. Atau, dengan orang lain untuk membicarakan masalah itu. Aku tidur lebih awal dan mencoba untuk tidur. Kata-katanya terdengar berulang kali di telingaku. "Aku tidak pernah menyukai orang lain selain dirimu..". Aku sungguh berharap dapat mempercayainya.
Aku tidak menyadari bahwa akhirnya, aku tertidur. Bu, malam itu aku mendapat mimpi dari Allah. Malaikat Tuhan mendatangiku. Kata-katanya bergetar melalui pikiranku dengan begitu jelas, seolah-olah itu baru terjadi kemarin.
"Yusuf, Anak Daud," kata malaikat itu, "jangan takut untuk mengambil Maria sebagai istrimu, karena bayi yang berada dalam kandungannya berasal dari Roh Kudus."
Aku tidak dapat mempercayai pendengaranku, Bu. Inilah jawabannya! Malaikat itu meneruskan, "Ia akan melahirkan seorang Anak Laki-Laki, dan engkau akan menamai Dia Yesus, karena Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka."
Malaikat itu mencengkeram bahuku dengan tangannya yang besar. Untuk waktu yang cukup lama, tatapannya menusuk dalam diriku. Saat ia berbalik untuk pergi, kupikir aku melihat senyum di wajahnya yang bersinar.
Aku duduk tegak di tempat tidur. Aku tidak dapat tidur setelah itu! Aku mencoba berpikir untuk sementara waktu, mencoba mencerna kata-kata dalam pikiranku. Lalu, aku bangun dan berpakaian dengan diam-diam supaya aku tidak akan membangunkan Ibu.
Aku pasti telah berjalan sekitar satu mil di bawah langit yang tidak berbulan. Bintang-bintang berkelip-kelip dalam kegelapan seperti ribuan titik-titik. Udara hangat bertiup di wajahku.
Aku bernyanyi untuk Tuhan, Bu. Ya, aku bernyanyi, jika Ibu dapat membayangkannya. Aku tidak dapat menyembunyikan sukacitaku. Aku mengatakan kepada Allah bahwa aku akan mengambil Maria sebagai istriku dan mengasihinya. Aku mengatakan kepada-Nya bahwa aku akan menjaganya, dan Anak itu, tidak peduli apa pun yang dikatakan orang.
Aku kembali sesaat setelah sinar matahari menyentuh puncak bukit. Aku tidak tahu apakah Ibu masih mengingat pagi itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, seolah itu baru terjadi kemarin. Ibu sedang memberi makan ayam, terkejut melihatku berada di luar. Ibu ingat bukan?
"Duduklah Bu," kataku pada Ibu. "Aku harus mengatakan sesuatu kepada Ibu." Aku memegang lengan Ibu dan membantu Ibu mencari tempat duduk di batu halaman belakang. "Bu," kataku, "Aku akan mengambil Maria sebagai istriku. Dapatkah Ibu membantu menyiapkan tempat bagi keperluannya?"
Ibu terdiam selama beberapa waktu. "Nak, kamu tahu 'kan apa yang dikatakan orang-orang mengenai Maria?" kata Ibu pada akhirnya. Mata Ibu berkaca-kaca.
"Ya, Bu, Aku tahu."
Suara Ibu mulai meninggi. "Jika ayahmu masih hidup, ia pasti sudah memperingatkanmu, aku yakin itu. Melakukan hal seperti itu sebelum kalian menikah. Mencemarkan nama keluarga dan semua. Kamu ... kamu dan Maria harus merasa malu pada diri kalian sendiri."
Ibu tidak akan pernah percaya padaku jika aku berusaha untuk menjelaskannya saat itu. Karena itu, aku tidak mengatakan apa-apa. Kecuali malaikat telah berbicara kepada Ibu, Ibu pasti akan menertawakan dan mengejekku.
"Bu, inihal yang seharusnya aku lakukan" kataku.
Kemudian, aku mulai berbicara kepada Ibu layaknya seorang kepala keluarga. "Ketika Maria datang, aku tidak ingin mendengar sepatah kata pun yang akan menyinggungnya mengenai persoalan itu.," Aku menjadi tergagap. "Ia adalah menantu Ibu dan Ibu harus menghargainya. Ia akan membutuhkan bantuan Ibu jika ia harus menanggung gunjingan dari para tetangga tentang dirinya."
Maafkan aku, Bu. Ibu tidak layak diperlakukan seperti itu. Waktu itu, Ibu segera bergegas pergi.
"Bu," gumamku, "Aku membutuhkanmu." Ibu memegang tanganku dan meletakkannya di kakimu, tetapi amarah telah hilang dari matamu.
"Kamu dapat mengandalkanku, Yusuf," kata Ibu sambil mememelukku cukup lama. Dan, Ibu memang bersungguh-sungguh. Aku tidak pernah mendengar kata-kata yang lain lagi dari Ibu. Tidak ada pengantin wanita yang akan berharap memiliki ibu mertua yang lebih baik daripada Ibu selama beberapa bulan selanjutnya.
Ibu, setelah aku meninggalkanmu, aku menuju ke rumah Maria dan mengetuk pintu rumahnya. Ibunya menatapku saat ia membukakan pintu. Dengan keras, ia berseru ke dalam rumah, "Yusuf datang," hampir menyemburkan namaku saat ia menyerukannya.
Maria kecilku datang sambil menangis, seolah-olah ia mengharapkan aku untuk memberikan tanganku untuknya, kukira. Matanya merah dan bengkak. Aku dapat membayangkan apa yang telah dikatakan orang tuanya kepadanya.
Kami melangkah beberapa jauh dari rumah. Ia tampak begitu muda dan ketakutan, "Kemasi barang-barangmu, Maria," kataku dengan lembut kepadanya. "Aku akan membawamu ke rumahku sebagai istriku."
"Yusuf", ia memelukku seerat yang dia bisa. Bu, aku tidak menyangka bahwa ternyata ia begitu kuat.
Aku mengatakan kepadanya rencanaku. "Kita akan mengunjungi rumah Rabi Ben Ezer minggu ini dan memintanya untuk memimpin acara pernikahan."
Aku tahu itu sangat mendadak, Bu. Tetapi, aku berpikir bahwa semakin cepat kami menikah, akan lebih baik baginya, dan bagiku, dan bagi Sang Bayi.
"Maria, bahkan jika teman-teman kita tidak akan datang, setidaknya, kamu dan aku dapat mengikrarkan cinta kita di hadapan Allah." Aku terdiam sejenak. "Kurasa, ibuku akan hadir pada saat itu. Dan, mungkin temanmu Ribka akan datang juga jika orang tuanya mengizinkan. Bagaimana dengan orang tuamu?"
Aku dapat merasakan wajah mungil Maria bergetar saat ia terisak pelan.
"Maria," kataku. Aku dapat merasakan diriku berbicara dengan lebih terus terang. "Apa pun yang dikatakan orang tentangmu, aku bangga kamu akan menjadi istriku. Aku akan menjagamu dengan baik. Aku sudah berjanji kepada Allah tentang hal itu."
Ia memandangku.
Aku merendahkan suaraku. "Maria, semalam aku bermimpi. Aku melihat seorang malaikat. Aku tahu."
Keraguan yang ada di wajahnya perlahan menghilang. Wajahnya bersinar saat kami menjauh dari rumah dan mulai berjalan ke atas bukit bersama-sama.
Sesaat kemudian, ibunya berlari masuk ke halamam. "Tunggu,"
katanya. Ia pasti telah mendengar dari balik pintu. Air mata mengalir menuju ke pipinya.
"Aku akan memamnggil ayahmu," katanya, hampir jatuh karena menahan emosi. "Kita," ia menangis sambil membenahi bajunya. "Kita," ia berteriak sambil berlari untuk mencari suaminya. "Kita ... akan mengadakan acara pernikahan!"
Itulah yang terjadi, Bu. Terima kasih sudah mendukung kami. Saya akan menulis lagi secepatnya.
Dengan kasih,
Yusuf
(t/N. Risanti)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs | : | joyfulheart.com |
Alamat URL | : | http://www.joyfulheart.com/christmas/joseph.htm |
Judul asli artikel | : | Joseph's Letter Home, a Christmas Story |
Penulis artikel | : | Dr. Ralph F. Wilson |
Tanggal akses | : | 3 Oktober 2013 |