Tukang Pos yang Menyelamatkan Natal
Malam Natal adalah peristiwa meriah di rumah Schow di Cardston, Alberta, Kanada. Tradisi sungguh-sungguh terasa ketika kedelapan anaknya yang berusia 3 sampi 16 tahun mondar-mandir untuk membantu ibu mereka, Ingeborg, dalam persiapan masa Natal.
Ibuku, Ruth baru berumur 8 tahun pada saat itu. Tetapi, ia masih ingat kejadian itu sampai saat ini. Biasanya, Natal selalu dilengkapi dengan Schow Danish fudge dan toffee. Schow Danish fudge adalah sejenis permen coklat yang lunak dari Denmark dan dibuat oleh keluarga Schow, sedangkan toffee adalah sejenis permen yang dibuat dari gula dan mentega. Toffe terbuat dari permen yang lentur dan bisa ditarik.
Di tengah-tengah kegembiraan, tiba-tiba pintu belakang terbuka dengan suara keras. Angin yang sangat dingin berhembus masuk dan salju pun menyerbu ke dalam dapur yang nyaman. Sidney, 15 tahun, baru saja kembali dari tugasnya yakni mengantar koran. Ia sangat kedinginan dan akhirnya ia merasa senang karena berada di kehangatan rumah keluarga. Rex mengangkut arang dan kayu yang terakhir ke dalam rumah supaya tungku keluarga tetap menyala sepanjang malam. Tungku kami terbuat dari besi tuang.
Musim salju 1927 adalah musim salju yang paling dingin yang pernah terjadi di kota kecil ini. Depresi membuat keluarga-keluarga berjuang untuk menghemat dan pandai menggunakan akal. Keluarga Schow memiliki beberapa ekor sapi dan ayam. Ini bisa membantu keluarga Schow untuk menyediakan susu, telur, krim, dan mentega. Persediaan makanan pun bisa tersedia bagi mereka. George Schow adalah orang yang mempunyai bakat sebagai tukang kayu. Bahkan, ia bisa membuat perasan keju dari bahan kayu sehingga keluarganya dapat membuat keju untuk keperluan sendiri.
Pada senja hari, anak-anak berkumpul di sekeliling piano untuk menyanyikan lagu-lagu Natal. Mereka menantikan kedatangan ayah mereka, George, dari tempat kerjanya sambil memperhatikan jalannya waktu. Ayah mereka adalah seorang tukang pos yang bertugas mengantar surat-surat ke banyak kelompok kecil masyarakat di sekitar Cardston, misalnya Leavitt, Mountain View, Glenwood, dan Hillspring. Tetapi, George akan pulang cepat karena ini adalah malam Natal. Ia selalu memasang pohon Natal bila ia sampai di rumah. Untuk mempersiapkan Natal, anak-anak telah merangkai pop-corn dalam jumlah banyak dan menggunting bintang-bintang kecil yang indah terbuat dari kertas untuk digantung di pohon. Mereka membantu ibu mereka untuk memasang lilin-lilin berwarna yang indah di jepitan pohon. Lilin-lilin itu siap untuk dipasang di dahan-dahan yang kuat.
Sesuai harapan, George pulang lebih awal dari pekerjaannya. Ia merasa senang telah selesai mengantarkan surat-surat pada hari itu. Ia lelah dan begitu kedinginan sehingga seluruh badannya terasa sakit. Tetapi, cinta yang meluap-luap dari keluarganya segera menghangatkan tubuh dan jiwanya. Betapa ia mencintai Natal! Dengan bantuan Sidney dan Rex, ia segera memaku papan-papan silang ke dasar pohon secara hati-hati. Kemudian, mereka mendirikannya di ruang keluarga. Tanpa hiasan pun, pohon itu kelihatan bagus sekali!
Ketika anak-anak menghias pohon, George diam-diam menggiring istrinya ke dapur untuk menjauhi hiruk-pikuk kegembiraan. Kelihatannya, George dalam kesukaran. Ia berbagi cerita dengan Ingeborg tentang peristiwa-peristiwa terakhir yang terjadi ketika ia bekerja pada hari itu. Ketika sedang menuju ke rumah, ia diberitahu tentang kereta api malam yang mengantar sepuluh peti barang antaran ke stasiun. Semua peti itu ditujukan untuk satu keluarga yang tinggal di Hillspring. Namun, karena hari sudah malam dan hampir gelap, pengantaran peti itu harus ditunda sampai sehari sesudah Natal. Jarak tempuh ke Hillspring memang sangat jauh, terutama pada saat badai salju sedang berlangsung.
Kepala rumah tangga keluarga yang sedang menunggu kiriman itu adalah Mr. Jeppson. Selama satu minggu, setiap hari Mr. Jeppson pergi ke stasiun untuk mencari tahu apakah ada paket yang tiba dari keluarga mereka di Amerikat Serikat. George tahu bahwa keluarga ini mempunyai beberapa anak dan sedang mengalami masa yang sulit. Untuk yang terakhir kali, Mr. Jeppson datang kembali ke stasiun pada Malam Natal. Ia putus asa dan terus mencari tahu tentang peti-peti itu. Ia pulang dengan tangan hampa dan sangat sedih. Rupanya, keluarga Jeppson menulis ke sanak-saudara mereka agar mereka mengirim apa pun untuk Natal. Barangkali, kirimannya bisa berupa selimut kain tua yang sudah usang untuk menghangatkan mereka atau sedikit uang untuk membeli arang.
George dan Ingeborg adalah orang yang taat pada agama dan mereka mempunyai iman yang besar. Mereka berlutut dan berdoa dengan tenang untuk hal itu. Sesudah berdoa, mereka saling memandang dan mereka tahu apa yang harus dilakukan. Peti-peti itu harus diantarkan malam itu juga! Tetapi, Ingeborg mempunyai sebuah permintaan. George harus membawa Sidney, putra mereka yang tertua. George hanya dapat melihat dengan satu mata karena suatu peristiwa yang diderita pada awal hidup perkawinan mereka. Dengan penglihatannya yang terbatas, pengantaran di siang hari tidak menjadi masalah. Tetapi, daya tangkap di malam hari merupakan suatu tantangan yang sangat berat baginya, terutama dalam keadaan badai salju.
George memanggil Sidney dan ia menerangkan situasi yang terjadi. Sidney tidak ragu-ragu sedikit pun. Ketika mereka bersiap-siap untuk pergi, anak-anak yang lain diberi tahu tentang perjalanan itu. Mereka membantu menyiapkan beberapa hal, misalnya membuat sandwich dan mengisi termos-termos. Anak-anak yang kecil mengisi kantong ayah mereka dengan kacang dan permen yang bisa mereka makan selama perjalanan. Secara diam-diam, semua anggota keluarga khawatir karena mereka akan terpisah pada waktu Natal.
Setelah kereta salju dipasang, keluarga itu berkumpul untuk berdoa. Dengan iman yang besar, mereka melihat kereta salju itu menghilang secara cepat di malam yang bersalju. Dalam sekejap mata, George dan Sidney tiba di stasiun. Mereka mengangkut peti itu dan berangkat ke Hillspring. Mereka meletakkan tungku panas di bawah kaki agar badan mereka hangat. Selain itu, mereka memakai selendang untuk membungkus sekeliling wajah mereka. Mereka pun menghadapi badai salju di Malam Natal itu. Ketika badai salju mengamuk, anak-anak di rumah menggantung kaos kaki mereka. Kemudian, mereka menyampaikan doa-doa mereka dan bergegas ke tempat tidur. Mereka berharap bisa bertemu ayah dan kakak mereka pada pagi dini hari di hari Natal. Sementara itu, perjalanan kereta salju terus berlanjut dan menembus malam. Mereka membutuhkan waktu 8 jam perjalanan untuk mencapai rumah keluarga Jeppson. Selama perjalanan, mereka sering merasakan pengawalan khusus dan perasaan damai menyelimuti perjalanan itu. Mereka percaya bisa mencapai tujuan dengan selamat.
Akhirnya, mereka lega karena bisa melihat cahaya di rumah keluarga Jeppson. George mengetuk pintu pelan-pelan pada dini hari di pagi Natal. Ia tidak kelihatan baik karena salju telah mengubah napasnya seperti es. Ini membuat bunga-bunga es beku menggantung pada selendang di sekeliling wajahnya. Ketika istri Mr. Jeppson membuka pintu, ia menjerit karena melihat penampilan George yang mengejutkannya. George menerangkan tujuan kedatangannya dan peti- peti itu dibawa masuk ke rumah. Melihat situasi rumah yang kosong, pasti keluarga Jeppson tidak akan merayakan Natal tanpa kedatangan peti-peti itu. Mata Bu Jeppson bercahaya ketika mereka mengeluarkan selimut-selimut baru, sarung tangan, sepatu, mantel, dan pakaian- pakaian lain untuk anak-anak. Selain itu, mereka juga mendapat ham dan bacon, buah-buahan, selai, dan segala macam permen. Mereka mengeluarkan terigu dan gula, kacang, dan bumbu-bumbu, bahkan boneka-boneka kecil untuk anak-anak. Di dalam paket kiriman juga disertakan surat kecil. Surat itu berisi informasi kepada keluarga Jeppson bahwa penduduk di sekeliling lembah telah mengadakan bazar untuk menyumbangkan semua barang kepada keluarga itu. Mereka mengajukan permintaan sederhana yakni selimut-selimut tua itu bisa berubah menjadi bantuan dan cinta yang melimpah dari ratusan orang yang peduli. George dan Sidney meninggalkan keluarga Jeppson yang sangat berbahagia. Mereka berterima kasih sedalam-dalamnya dan memulai perjalanan panjang untuk pulang ke rumah.
Mereka berangkat dengan tungku yang hangat di kaki mereka dan beban yang ringan di kereta salju mereka. Ketika matahari terbit di atas rumah keluarga Schow, anak-anak bergegas memeriksa kaos kaki mereka. Mereka juga ingin melihat apakah ayah dan kakak mereka sudah pulang. Anak-anak terus mengawasi jendela sambil menunggu kembalinya ayah dan kakak mereka. Akhirnya, tepat sesudah makan siang, Paul melihat kereta salju yang tidak asing lagi dan semua lari menyongsong kedatangan George dan Sidney. Dalam keadaan lelah tetapi bahagia, George dan Sidney terhuyung-huyung masuk ke dalam rumah dan mereka semua saling berpelukan. Keduanya bercerita tentang keluarga Jeppson dan betapa pentingnya isi peti-peti itu bagi keluarga Jeppson. Mereka membutuhkannya tidak hanya untuk Natal, tetapi juga untuk kelangsungan hidup mereka selama musim dingin. Selain itu, George dan Sydney juga bercerita tentang perlindungan dan pengawalan yang diberikan oleh Tuhan sepanjang perjalanan. Air mata cinta dan terima kasih memenuhi mata George ketika ia memeluk keluarganya erat-erat. Mereka betul-betul diberkati. George mencoba membayangkan kembali kebahagiaan yang dialami oleh keluarga Jeppson pada hari Natal itu. "Pengiriman paket khusus" yang menjadi mujizat Natal ini tak akan pernah dilupakan oleh keluarga Jeppson maupun keluarga Schow.
Diambil dari:
Judul buku | : | |
Judul artikel | : | Tukang Pos yang Menyelamatkan Natal |
Penulis | : | Gayla Woolf Holt |
Penerbit | : | PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 2002 |
Halaman | : | 77- 83 |
Dipublikasikan di: e-JEMMi 49/2003