Bahan Terbaru

Semangat Natal: Merayakan Pemberian Kasih Allah

Suasana Natal sudah terasa di mana-mana. Baik di gereja, juga di mal. Lampu-lampu Natal dan hiasan-hiasannya mulai terpasang dan terpajang. Kumandang lagu-lagu Natal pun semakin bisa terdengar kalau kita berjalan di sepanjang koridor toko-toko di pusat perbelanjaan modern. Itukah semangat Natal?

Beberapa waktu lalu saya menonton film yang mencoba mengangkat cerita klasik karya Charles Dicken "A Christmas Carol", ke alam modern. Kisah ini menampilkan sosok Scrooge yang membenci Natal karena hanya menghambur-hamburkan uang. Melalui serangkaian mimpi yang dialaminya -- ia dibawa ke masa lalunya, berpindah ke masa sekarang, dan akhirnya ke saat kematiannya -- ia disadarkan telah kehilangan hal berharga selama ini, yaitu semangat Natal untuk memberi dan berbagi dengan keluarganya (keponakannya) dan dengan orang-orang lain. Jadi semangat Natal adalah berbagi dan memberi?

Anak Perjanjian: Sebuah Doa pada Natal Pagi

Siapakah Engkau Bayi kecil? Siapakah Engkau Kristus kecil yang mungil, terbaring begitu tenang di palungan jerami? Siapakah Engkau sehingga malaikat harus memberitakan kehadiran-Mu dan bintang-bintang mengumumkan kelahiran-Mu, sehingga orang-orang majus dan para gembala -- tinggi dan rendah -- harus bersujud di hadapan-Mu? Siapakah Engkau, Anak Betlehem, Anak Daud? Apakah masa depan-Mu? Apakah janji-Mu?

Tujuh abad sebelum kelahiran-Mu, Kitab Perjanjian Lama telah berbicara tentang Engkau:

Sebab Seorang Anak telah lahir untuk kita,

Seorang Putera telah diberikan untuk kita,

Lambang pemerintahan ada di atas bahu-Nya,

dan nama-Nya disebutkan orang

Penasihat Ajaib,

Allah yang Perkasa,

Bapa yang Kekal,

Raja Damai.

Besar kekuasaannya,

dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan,

di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya.

Firman Menjadi Daging (1)

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
(Yohanes 1:14)

SAYA telah menikah selama lebih dari seperempat abad. Allah telah memberikan kepada saya seorang istri yang saleh yang karakternya lebih baik dari pada saya. Luella dan saya menikmati hubungan yang indah dalam berbagai hal. Kami dibesarkan dalam keluarga Kristen dimana kami diajarkan kebenaran sejak kecil. Kami berdua mengenal Kristus ketika masih anak-anak dan dididik di perguruan tinggi Kristen. Kami telah mempergunakan waktu kami untuk pelayanan dan telah diberkati dengan pengajaran alkitabiah yang baik. Kami telah bekerja keras untuk mengikuti rancangan Kristus bagi pernikahan kami.

Ketika Allah Melangkah Keluar

Kita tidak perlu bertanya-tanya seperti apakah Allah itu. Kita juga tak perlu bertingkah seperti anak kecil yang menatap ke langit dan bertanya kepada ibunya, "Apakah Allah ada di atas sana?" Ketika ibunya meyakinkan anak itu bahwa Allah ada di atas sana, si anak menanggapi, "Bukankah lebih baik bila Ia memperlihatkan wajah-Nya supaya kita dapat melihat-Nya?"

Sudahkah Anda Berjumpa dengan Kristus?

Jika Anda harus kembali bekerja setelah Natal, apakah yang akan Anda bawa bersama Anda dari masa Natal tersebut? Beberapa hadiah dan beberapa kenangan liburan yang indah, atau sesuatu yang lain?

Saya sangat menyukai cara J.B. Phillips menerjemahkan Lukas 2:20: "Para gembala tersebut kembali bekerja, memuji dan memuliakan Allah untuk segala sesuatu yang telah mereka dengar dan lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka."

Tak Ada Natal Keluarga

Aku dibesarkan di tengah keluarga "Bhinneka Tunggal Ika". Orang tuaku adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa agama adalah "ageming aji" (baju kehormatan diri). Mereka membebaskan anak-anak memilih agamanya masing-masing. Aku sendiri mengenal kekristenan, sederhana saja, karena diajak tetangga sebelah pergi ke sekolah minggu. Syukurlah, sejauh ini perbedaan agama itu tak pernah menjadi sumber konflik dalam hubungan persaudaraan kami. Ibuku pernah berkomentar dengan bangga, "Kami di sini Pancasila, kok. Ada Al- Quran, ada Injil, ada Tripitaka. Mau apa saja, silakan!"

"The Last Waltz"

Namaku Lily, kami tinggal di sebuah kota kecil di Manado. Sejak muda, ibuku senang sekali menari. Untuk itu, saat pernikahannya, Ayah meminta agar tarian terakhir ibu dipersembahkan untuknya. Maka dari itu, lagu pertama pada saat ibu menari adalah "The Last Waltz" dari Engelbert Humperdinck. Dan rupanya ini benar-benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada saat melahirkan aku, ibu meninggal dunia.

Daddy -- begitulah aku memanggil Ayah, karena kasihnya kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Aku dibesarkan oleh Daddy dan Nenek, dan setiap malam Natal, sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya, "The Last Waltz", sambil mengingat ibu. Ketika aku berusia 5 tahun, Daddy mengajari aku menari waltz.

Pages